Jejak AS dalam Sejarah Nuklir Iran: Dari Sekutu Barat hingga Ancaman bagi Israel
June 27, 2025

Program nuklir Iran kini menjadi pusat ketegangan baru di Timur Tengah. Israel menganggap proyek tersebut sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan negaranya. Sebagai respons, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memerintahkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Operasi militer bertajuk “Rising Lion” tersebut dimulai pada 13 Juni 2025.
Israel sejak lama meragukan klaim Iran bahwa pengembangan nuklirnya murni untuk tujuan damai. Sebaliknya, Iran bersikeras bahwa program tersebut adalah hak kedaulatan mereka dan bukan ancaman bagi negara manapun. Serangan Israel pun memicu balasan dari Iran dengan rudal dan drone yang diarahkan ke beberapa kota besar Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa.
Awal Mula Program Nuklir Iran: Bantuan dari Barat
Ironisnya, sejarah program nuklir Iran justru dimulai atas dukungan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Pada era pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi, sebelum Revolusi Islam 1979, Iran merupakan sekutu dekat Barat, termasuk Israel.
Pada dekade 1960-an hingga 1970-an, Iran menerima dukungan teknologi dari Amerika, Jerman, dan Prancis untuk membangun infrastruktur nuklir. Salah satu proyek besar pada waktu itu adalah pembangunan dua reaktor tenaga nuklir di Bushehr oleh Kraftwerk Union, anak perusahaan Siemens dari Jerman.
Menurut Robert Einhorn, mantan pejabat pengawasan senjata Amerika, “Kami memberikan Iran peralatan awal untuk program nuklirnya,” ujarnya seperti dikutip The New York Times.
Namun, pembangunan reaktor ini terhenti menyusul Revolusi Islam yang menggulingkan kekuasaan Shah dan naiknya Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai pemimpin tertinggi Iran.
Khomeini: Nuklir adalah “Karya Setan”
Setelah Revolusi, Ayatollah Khomeini menolak keras pengembangan senjata nuklir. Ia menganggap bom atom bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sikap itu sempat membuat program nuklir Iran dibekukan pada awal era Republik Islam.
Dalam sebuah laporan Foreign Policy, penulis Gareth Porter menyebut bahwa Khomeini secara tegas melabeli pengembangan senjata nuklir sebagai tindakan haram.
Titik Balik: Perang dan Ancaman Membuka Kembali Program Nuklir
Namun situasi berubah pada pertengahan 1980-an. Ancaman dari Irak di bawah Saddam Hussein memaksa Iran mempertimbangkan kembali pengembangan teknologi nuklir. Saat itu, Saddam memerintahkan serangan udara terhadap reaktor Bushehr yang sedang dalam tahap pembangunan.
Menyadari kebutuhan akan pertahanan non-konvensional, tokoh penting Iran seperti Akbar Hashemi Rafsanjani mulai mendesak agar larangan pengembangan teknologi nuklir dicabut.
Pada akhirnya, restu dari pemimpin tertinggi untuk melanjutkan program tersebut diberikan. Presiden Iran kala itu, Ali Khamenei—yang kini menjadi Pemimpin Tertinggi—mengumumkan bahwa Iran perlu memajukan teknologi nuklirnya.
Iran kemudian mulai bekerja sama dengan negara-negara seperti Tiongkok, Pakistan, Argentina, dan Korea Utara untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya. Keruntuhan Uni Soviet juga membuka peluang besar, dengan banyaknya ilmuwan nuklir Soviet yang menganggur dan bersedia bekerja untuk Iran.
Prediksi Dunia: Iran Menuju Senjata Nuklir
Sejak awal 1990-an, berbagai laporan dari komunitas intelijen internasional, termasuk Israel, memperkirakan bahwa Iran bisa mencapai kemampuan membuat bom nuklir dalam waktu kurang dari satu dekade.
Pada 1993, Benjamin Netanyahu, yang saat itu masih menjadi anggota parlemen Israel, sudah memperingatkan bahaya program nuklir Iran dalam artikel bertajuk “The Great Danger” yang dimuat di Yedioth Ahronoth. Menurutnya, ancaman terhadap Israel bukan lagi datang dari negara-negara Arab, melainkan dari Iran.
Ia memperkirakan Iran akan memiliki senjata nuklir pada 1999—sebuah kekhawatiran yang terus bergema hingga hari ini.
Perubahan Lanskap Politik dan Keamanan
Seiring berjalannya waktu, musuh utama Iran yaitu Irak di bawah Saddam Hussein tumbang akibat invasi Amerika Serikat pada 2003. Saddam kemudian dieksekusi pada 2006, mengakhiri era persaingan brutal antara dua negara tersebut.
Namun, tumbangnya Irak justru membuat Iran lebih leluasa memperluas pengaruhnya di kawasan, termasuk terus mengembangkan program nuklirnya. Kini, Israel menganggap Iran sebagai ancaman eksistensial, sementara Iran tetap bersikukuh bahwa program nuklirnya adalah hak kedaulatan yang tidak dapat diganggu gugat.